Sejarah Hak
atas Tanah
- Sejarah Hak atas Tanah
Tujuan yang dikandung oleh hkum tidak terlepas dari siapa
yang membuat hukum tersebut. Jika sebelum Bangsa Indonesia merdeka, sebagian
besar Hukum agrarian dibuat oleh penjajah terutama masa penjajahan Belanda,
maka jelas tujuan dibuatnya adalah semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan
penjajah. Hukum agrarian yang berlaku sebelum diundangkannua Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agrarian yang sebagian besar tersusun
berdasarkan tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari pemerintah jajahan dan
sebagian dipengaruhi olehnya. Sehingga ketentuan Hukum agraria yang ada dan
berlaku di Indonesia sebelum UUPA dihasilkan oleh bangsa sendiri masih bersifat
Hukum Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.[1]
Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia Belanda di
Indonesia terdapat dualism hukum yang menyangkut Hukum Agraria Barat, dan
dipihak lain berlaku Hukum Agraria Adat. Akhirnya sistem tanam paksa yang
merupakan pelaksanaan politik kolonial konservatif dihapuskan dan dimulailah
sistem liberal. Politik liberal adalah kebalikannya dari politik konservatif
dihapuskan dsn dimulailah sistem liberal. Prinsip politik liberal adalah tidak
adanya campur tangan pemerintah dibidang usaha, swasta diberikan hak untuk
mengembangkan usaha dan modalnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
semakin tajamnya kritik yang dialamatkan kepada Pemerintah Belanda karena
kebijakan politik agrarianya mendorong dikeluarkannya kebijakan kedua yang
disebut Agrarisch Wet (dimuat dalam Staatblad 1870 Nomor 55).[2]
Terkait dengan sejarah hak-hak atas tanah berdasarkan
hal-hal diatas, maka hak-hak atas tanah dapat dibedakan dalam 2 masa, yaitu
masa kolonial (sebelum kemerdekaan) dan setelah kemerdekaan.
- Masa Kolonial (sebelum kemerdekaan)
Hak-hak atas tanah yang ada pada masa colonial ini, tentunya
tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, diantara hak-hak
yang diatur tersebut antara lain :
a) Hak Eigendom (hak
milik)
Pasal 570 KUH Perdata menyebutkan; Eigendom adalah
hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh penuhnya dan untuk
menguasai seluas luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang undang
atau peraturan peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi (kekuasaan) yang
berhak menetapkannya, serta tidak menganggu hak hak orang lain; semua itu
kecuali pencabutan eigendom untuk ke pentingan umum dengan pembayaran
yang layak menurut peraturan peraturan umum.
b) Hak Erfpacht (hak
usaha)
Hak erpacht, adalah hak benda yang paling luas yang
dapat dibebankan atas benda orang lain. Pada pasal 720 KUH Perdata disebutkan,
bahwa suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang
tak bergerak milik orang lain dengan kewajiban member upeti tahunan. Disebutkan
didalamnya pula bahwa pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan
dan merasakan hasil benda itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun temurun,
banyak diminta untuk keperlua pertanian. Di Jawa dan Madura Hal erfpacht diberikan
untuk pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan
pertanian kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar,
perkebunan dan pertanian kecil.
a) Hak Opstal (hak
numpang karang)
Hak Opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan
atau tanam tanaman di atas tanah orang lain. Menurut Pasal 711 KUH Perdata
disebutkan bahwa hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangynan-bangunan
dan penanaman diatas pekarangan orang lain.
- Masa Setelah Kemerdekaan
a) Sebelum UUPA
Hukum agrarian sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme
hukum, dikarenakan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping
peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum Barat. Hal mana selain
menimbulkan pelbagai masalah antargolongan yang serba sulit, juga tidak sesuai
dengan cita-cita persatuan bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah
pemberlakuan hak-hak atas tanah di Indonesia. Sifat dualisme Hukum Agraria
kolonial ini meliputi bidang-bidang sebagai berikut :
1) Hukumnya
Pada saat yang sama berlaku macam-macam Hukum Agraria, yang
meliputi :
v Hukum Agraria Barat yang diatur dalam Bugerlijk
Wetboek, Agrarische Wet, dan Agrarische Besluit.
v Hukum Agrarian Adat yang diatur dalam Hukum Adat
daerah masing-masing
v Hukum Agraria Swapraja yang berlaku didaerah-daerah
Swapraja (seperti : Yogyakarta, Surakarta, dan Aceh)
v Hukum Agraria Antar-Golongan (Agrarische
Interdentielrecht) yaitu hukum yang digunakan untuk menyelesaikan
hubungan-hubungan hukum dalam bidang pertanahan antarorang-orang pribumi dengan
orang-orang bukan pribumi
2) Hak Atas Tanah
v Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria
Barat yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak erfpacht,
hak postal, Recht van gebruik (hak pakai), bruikleen (hak pinjam pakai)
v Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria
Adat daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah
yayasan, tanah kas desa, tanah gogolan, tanah pangonan (penggembalaan), tanah
kuburan.
v Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah
Hindia Belanda, misalnya hak agrarische (tanah milik adat yang ditundukkan
diripada Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah yang subjek
hukumnya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing/ Tionghoa)
v Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan Pemerintah
Swapraja, misalnya grant sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh
Pemerintah Swapraja khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor Pejabat
Swapraja)
b) Setelah UUPA
Setelah lahirnya (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai dasar
bagi Hukum Agraria di Indonesia, maka problema dualism pun teratasi. Alhasil,
Negara Indonesia dapat berupaya semakin maksimal, guna mencapai apa yang
menjadi tujuan Negara bagi kemakmuran Rakyat.
Hak-hak atas tanah diatur dalam UUPA pasal 2, pasal 4, pasal
16, pasal 20-46, pasal 50, pasal 53, pasal 55,dan ketentuan-ketentuan tentang
konversi. Sehingga lahirlah kodifikasi hak-hak atas tanah yang lebih baik
Setelah adanya UUPA, hak-hak atas tanah di Indonesia pun
mutlak menjadi milik Negara Indonesia. Dalam UUPA hak tanah mempunyai hierarki
[1]
Muchsin, , Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah,
(Bandung Refika Aditama, 2007), hlm. 9
[2]
Muchsin, Ibid, hlm. 13
Oleh : M Mahfud Musthofa*
Latar belakang
Kita mengetahui bahwa penjajahan
atau ekspansi orang eropa di Indonesia sangatlah menyengsarakan penduduk
pribumi, dimana orang eropa telah banyak memonopoli perdagangan
Indonesia, mulai dari inggris, belanda yang memanfaatkan Indonesia sebagai lahan
untuk pemasukan negaranya sendiri tanpa memperhatikan kondisi social masyarakat
yang memprihatinkan. Tidak hanya sebatas itu, orang eropa juga jelas
mengeksplorasi dan mengeruk sumber daya alam Negara jajahanya dengan memaksakan
penduduk pribumi untuk menuruti apa yang menjadi keinginan bangsa barat,
seperti halnya menanam tanaman ekspor (tebu, teh, kopi dll).
Setelah dominasi monopoli inggris
berakhir di Indonesia, maka kemudian tampil belanda yang menggantikan inggris
sebagai penguasa yang mengatur Negara jajahannya sejak 1816. Dengan kedatangan
belanda tersebut menjadikan rakyat Indonesia dihisap dan dipaksa bekerja
dinegeri sendiri, untuk memaksimalkan penguasaan dan pengerukan SDA Indonesia
sampai kedasar-dasarnya, colonial belanda membangun sekolah yang bertujuan
untuk melahirkan tenaga ahli baru yang nantinya kelak akan dipekerjakan di
perusahaan belanda. Tetapi sebelumnya pada tahun 1819 belanda juga menderikan
sekolah tetapi hanya untuk warga belanda dan pejabat tinggi saja. Kemudian
tahun 1871, seiring dengan kemenangan kaum liberalis di parlemen belanda,
menuntut pendidikan di hindia belanda juga mencakup rakyat pribumi, kemudian
dibentuk UU agraria yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada modal
swasta belanda masuk ke Indonesia seperti dengan di buatnya Agrarische Wet.
Latar belakang dikeluarkannya
Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) antara lain karena kesewenangan
pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu
berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk
Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan
berdirinya sejumlah perusahaan swasta. UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan
tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan
dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya
sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda. Tujuan dari UU tersebut adalah
Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing.
Memberi peluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk
Indonesia seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan lain-lain. Serta Membuka kesempatan kerja kepada
penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.
Ternyata dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Agraria 1870 yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah
seluas dan selama mungkin yang akhrnya Sistem ini membawa kemunduran bagi
kesejahteraan pribumi. Yang kemudian Munculah gagasan etis di kancah pertanian Pemerintah
Belanda.
Konsep Politik Liberal
Politik kolonial liberal di Eropa
pada awalnya merupakan cerminan antara perbedaan dalam bidang politik yang
berhaluan totalitarisme (fasisme dan komunisme) dan liberalisme (sosialisme dan
kapitalisme). Hubungan timbal balik antara ekonomi pasar dengan liberalisasi
politik yang relatif bisa dilihat pada studi perbandingan mengenai
negara-negara fasis maupun komunis. Doktrin liberal jauh lebih
mengutamakan masyarakat dari pada negara. Dalam doktrin liberal klasik, “masyarakat
pada dasarnya dianggap mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan negara baru ikut
campur tangan hanya kalau usaha-usaha masyarakat yang bersifat sukarela menemui
kegagalan”. Dengan demikian, teori Negara sebagai alat menempatkan negara
pada kedudukannya sebagai pelengkap. Sejauh individu dapat menjalankan
kehidupannya tanpa Negara, kaum liberal menentang keberadaan negara bahkan jika
negara dapat melakukan yang lebih baik dari pada individu.
Selain itu, konsep hukum dibalik
hukum secara langsung diturunkan dari pandangan kosesual Negara dan masyarakat
dalam liberalisme klasik. Masyarakat dipahami sebagai himpunan bermacam-macam
perkumpulan sukarela, dan negara itu juga pada intinya dianggap sebagai badan
yang diorganisasikan secara sukarela, karena otoritasnya diperoleh atas dasar
persetujuan mereka yang diperintah. Liberalisme selalu menganut pemikiran bahwa
hubungan antara Negara dan masyarakat atau antara pemerintah dan individu pada
akhirnya ditentukan oleh hokum yang kddudukannya lebih tinggi daripada hukum
negara.
Paham kebebasan liberalisme mulai
tumbuh subur di Eropa dan dianggap sebagai paham yang paling sesuai untuk
diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Liberalisme
muncul sebagai sikap pendobrakan terhadap kekuasaan absolut dan didasarkan atas
teori rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social Contract. Sejak tahun
1900-an, politik dan ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat.
Gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus
diberi akses seluas mungkin untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa
ada intervensi dan campur tangan dari negara. Atas dasar itu,
campur tangan negara tidak diperlukan lagi. Bila liberalisme awal (early
liberalism) lebih menekankan pada hak-hak politik, maka sejak tahun 1900-an,
liberalisme telah mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan, termasuk di
dalamnya liberalisasi pemikiran.
Latar Belakang
Politik Etis (Balas Budi)
Pelaksanaan politik kolonial liberal
di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850,
golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam
pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga
tanam paksa dapat dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di
Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja,
yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam
bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka
meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikian pendapatan
negara juga akan bertambah banyak.
Untuk mewujudkan sistem tersebut,
pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering
disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan
Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swastaasing untuk
menenemkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan sistem liberal
ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-undang Agraria
dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet) menjelaskan, bahwa
semua tanah di Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Oleh karena
itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam jangka waktu antara 50-75 tahun di
luar tanah-tanah yang digunakan oleh penduduk untuk bercocok tanam.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun
1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Yang dimaksudkan disini
adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, modal
swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia,
khususnya perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Selama masa
ini, pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa lainnya mendirikan berbagai
perkebunan-perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Pembukaan
perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-undang Agraria
(Agrarische Wet) yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak
Undang-undang Agraria membuka peluang bagi orang-orang asing, artinya
orang-orang bukan pribumi Indonesia untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka Pada tahun 1860-an politik
batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat
pertentangan dari golongan liberalis dan
humanitaris. Kaum liberal dankapital memperoleh
kemenangan di parlemen. Terhadap tanah jajahan
(Hindia Belanda), kaum liberal berusaha
memperbaiki taraf kehidupan rakyat
Indonesia. Keberhasilan tersebut dibuktikan
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun
1870.
Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870
berisi:
1. Pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya
kepada pengusaha swasta, serta
2. Pengusaha dapat
menyewa tanah dari gubernemen
dalam jangka waktu 75 tahun.
Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1) Memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing
(Eropa) untuk membuka usaha
dalam bidang perkebunan di Indonesia,
dan
2) Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak
hilang (dijual).
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan
politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan
keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan
para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan
agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan
untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga
mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya
adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha
perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1. Perusahaan-perusahaan gula milik
pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2. Pada tahun
1891 semua perusahaan gula
milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula
tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik
dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Berikut ini beberapa perkebunan
asing yang muncul di Indonesia :
1. Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2. Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3. Perkebunan kina di Jawa Barat.
4. Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5. Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
6. Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Politik pintu terbuka yang
diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat,
justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber
pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan
sengsara. Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat,
seperti berikut:
1. Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2. Rakyat menderita dan miskin.
3. Rakyat mengenal
sistem upah dengan uang,
juga mengenal barang-barang ekspor
dan impor.
4. Timbul pedagang
perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi
ke daerah
pedalaman,
mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada
grosir.
5. Industri atau
usaha pribumi mati karena
pekerja-pekerjanya banyak yang pindah
bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
Kemunculan Politik Etis (Balas Budi)
Pengaruh Politik Liberalis Bagi
Indonesia Sama halnya dengan negara-negara lain, di negeri Belanda para
pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa negara seharusnya tidak campur
tangan dalam kehidupan ekonomi, tetapi membiarkannya kepada kekuatan-kekuatan
pasar. Mengikuti Adam Smith, para pengikut aliran liberalisme berpendapat bahwa
satu-satunya tugas negara adalah memelihara ketertiban umum menegakkan hukum,
dengan demikian kehidupan ekonomi dapat berjalan dengan lancar. Agar hal ini
dapat diwujudkan, para pengikut aliran liberalisme menghendaki agar segala
rintangannya yang sebelumya telah dibuat dihapuskan.
Ketika orang-orang liberal mencapai
kemenangan politik di negeri Belanda (setelah tahun 1850) mereka mencoba
menerapkan azas-azas liberalisme di koloni-koloni Belanda khususnya di
Indonesia. Mereka berpendapat ekonomi Hindia-Belanda akan berkembang dengan
sendirinya jika diberi peluang sepenuhnya kepada kekuatan-kekuatan pasar untuk
bekerja sebagaimana mestinya. Dalam prakteknya diartikan sebagai kebebasan
berusaha dan adanya modal swasta Belanda untuk mengembangkan sayapnya di
Hindia-Belanda dalam berbagai usaha kegiatan ekonomi.
Penanaman modal di Indonesia,
sebagian besar diarahkan untuk pembangunan perkebunan-perkebunan yang dapat
menghasilkan komoditi yang diperlukan bagi bahan dasar industri. Lalu
dibangunlah perkebunan- perkebunan yang sebagian besar dibangun di daerah Jawa
dan Sumatera. Pembangunan perkebunan ini membutuhkan tenaga kerja yang akan
digunakan untuk mengurus perkebunan. Dengan demikian, banyak penduduk yang
diangkat menjadi tenaga kerja perkebunan, bahkan untuk perkebunan di Sumatera
diangkat tenaga kerja yang berasal dari Jawa. Terjadilan arus transmigrasi dari
pulau Jawa ke Sumatera yang dilakukan secara paksa. Bahkan ada di antara
orang-orang Jawa ini yang dikirim ke daerah Madagaskar dan Suriname.
Eksploitasi yang dilakukan oleh para
kapitalis terhadap penduduk Indonesia dilakukan dengan gaya baru. Para pekerja
dipaksa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan dengan upah yang sangat minim
dengan beban kerja yang sangat tinggi. Mereka tidak bisa menghindar dari
ketentuan tersebut karena mereka terikat kontrak kerja. Pada tahun 1881,
pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang Koelie Ordonantie
yang mengatur para pekerja. Berdasarkan undang-undang tersebut, para kuli
bekerja sesuai dengan kontrak. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut
akan dijatuhkan hukuman berupa poenale sanctie. Para pengusaha diberikan
kewenangan dan hak yang besar untuk memperlakukan dan menjatuhkan hukuman para
pekerja sesuai dengan keinginannya.
Untuk mendukung
program perkebunan tersebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun
berbagai prasarana, seperti irigasi, waduk, jalan raya, jalan kereta api, serta
pelabuhan-pelabuhan. Pembangunan sarana-sarana tersebut seringkali memakan
korban jiwa yang sangat banyak dari penduduk Indonesia karena mereka
dipekerjakan secara paksa. Akan tetapi dengan pembangunan prasarana tersebut,
terutama pembangunan jaringan jalan raya telah menimbulkan pengaruh bagi
tumbuhnya mobilitas penduduk. Pembangunan jalan raya dan kereta api
memungkinkan pertumbuhan dan hubungan antarkota secara cepat. Dampaknya adalah
lahirnya kota-kota baru di daerah pedalaman seperti Malang, Bandung, Sukabumi,
dan sebagainya. Lahirnya kota-kota baru tersebut memicu pertumbuhan urbanisasi
yaitu gerak perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Politik pintu terbuka ternyata tidak
membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van Deventer mengecam pemerintah
Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dan negeri jajahan. Kaum
liberal dianggap hanya mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari
keuntungan tanpa memerhatikan nasib rakyat. Contohnya
perkebunan tebu yang mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran. Dampak
politik pintu terbuka bagi Belanda sangat besar. Negeri Belanda mencapai
kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin
dan menderita.
Penerapan
Politik Etis Di Indonesia
Seiring dengan
hal tersebut, gerakan-gerakan humanis yang berkembang di negeri
Belanda mendorong diberlakukannya politik balas budi terhadap bangsa
Indonesia. Desakan parlemen kepada pemerintah Belanda untuk menghapus sistem
tanam paksa merupakan awal dari kemenangan terhadap strategi politik yang
dijalankan kaum liberal dalam rangka mencapai kepentingannya di bumi Indonesia.
Sejak saat itu,
mndal swasta asing diberikan peluang untuk mewarnai berbagai bidang usaha,
terutama pada perkebunan-perkebunan besar, baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Pembukaan perkebunan-perkebunan yang didominasi modal asing, seperti Belanda
dan negara-negara Eropa lainnya memungkinkan dikeluarkan Undang-undang Agraria dan
Undang-Undang Gula pada tahun 1870. Dalam realisasinya Undang-undang
Agraria itu pun tidak membuat penduduk pribumi menjadi terbebas dari
penderitaan. Bahkan sebaliknya, penduduk pribumi hanya menjadi alat pihak
pemilik modal untuk mencapai keuntungan dan tidak memperbaiki nasib rakyat
Indonesia dari keadaan sebelumnya. Kondisi yang tidak seimbang tersebut, pada
akhirnya mendapat perhatian dari beberapa tokoh Belanda seperti Baron van
Hoevel, Eduard Douwes Dekker, dan van Deventer. Tokoh-tokoh Belanda
tersebut, kemudian mengusulkan kepada pemerintah Kerajaan Belanda untuk
memperhatikan nasib rakyat Indonesia.
Salah satu
politik balas budi tersebut adalah program yang dikemukakan oleh Mr. C. Th. Van
Deventer. Gagasannya yang diterbitkan oleh majalah de Gids pada tahun
1899 memaparkan perlunya bangsa Belanda melakukan balas budi terhadap
Indonesia. Balas budi dilakukan dengan jalan membantu bangsa Indonesia
untuk mencerdaskan dan memakmurkan rakyatnya.
Berikut ini Isi Trilogi van Deventer antara lain:
1) Irigasi
(pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah
milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk,
2) Edukasi
(pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar
mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik,
3) Migrasi (perpindahan
penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya
(khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih
merata.
Setelah melalui perdebatan yang
cukup panjang akhirnya politik etis ini mulai dijalankan d Indonesia menurut
tafsiran dan kemauan pemerintah kolonial Belanda. Pada dasarnya
kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para
pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut:
1. Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang
subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air
dari irigasi.
2. Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan
ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah
Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat,
hanya diperuntukkan kepada anak-anak
pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi
pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri
dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi
dan pada umumnya.
3. Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah
yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya
permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti
perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain.
Mereka dijadikan kuli kontrak.
Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan
diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda
mengeluarkan Poenale Sanctie, (peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri
akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor atau
pengawasnya).
Walaupun pemikiran liberalisme di Hindia-Belanda diawali dengan harapan-harapan
besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan
ekonomi koloni sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun
rakyat Indonesia, namun pada akhir abad 19 terlihat jelas bahwa rakyat
Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik dari
sebelumnya. Ini didasarkan karena kecenderungan politik agraria kolonial adalah
prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang
serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya.
Tetapi Lambat laun program politik etis ini
memberikan manfaat yang sangat besar bagi bangsa Indonesia, terutama dalam hal
program pendidikan (edukasi). Program pendidikan yang awalnya ditujukan untuk
menghasilkan tenaga administratif rendahan, pada akhirnya semakin berkembang.
Tidak hanya jenjang pendidikan semakin tinggi, tetapi juga menjangkau
spesialisasi bidang pendidikan lainnya seperti kedokteran, keguruan, teknik,
pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat Indonesia semakin
mengenal pola pendidikan Barat yang pada akhirnya menjadi benih-benih
pergerakan indonesia menuju kemerdekaan.
Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya, telah diketahui bahwa dasar munculnya politik etis
antara lain, berawal dari kemenangan kaum liberalis dalam negeri belanda yang
banyak memberikan pengaruhnya terhadap Negara jajahannya atau koloniya, bukti
nyata dari keberhasilan kaum liberalis di parlemen belanda adalah
dikeluarkannya UU Agraria di Indonesia, yang bentuk nyatanya adalah untuk
memberikan hak kepada penduduk pribumi, seiring munculnya agrarisch wet, muncul
juga agrarische belsuit sebagai penerapan dari agrarische wet, dimana
menentukan domein Negara dalam artian tanah milik pribumi yang tidak bisa
dibuktikan dengan kesaksian orang lain misalnya (adat) maka diakui sebagai
tanah Negara (colonial belanda).
Dengan berlakunya agrarische wet, membuka peluang pagi perusahaan asing atau
pemodal asing untuk membuka perusahaan perkebunananya di Indonesia dengan cara
menyewa kepada penduduk pribumi, ataupun kepada pemerintah penguasa, dalam
peraturanya sewa tanah dibatasi maksimal 75 tahun. Secara kasat mata ini
dipandang menguntungkan rakyat, dengan asumsi, selain rakyat menyewakan
tananhnya kepada pengusaha dan kemudian bekerja di perusahaan belanda mereka
mendapat penghasilan yang banyak dan dapat sejahtera, tetapi dalam kenyataannya
rakyat semakin menderita, sehingga muncul politik etis yang dimotori oleh van
Deventer, (edukasi, irigasi dan emigrasi). Tetapi dalam perjanannya banyak
sekali penyimpangan yang terjadi. Ini disebabkan karena dalam
pelaksanaannya konsep etis tersebut ditafsirkan sendiri oleh pemerintah
belanda.
DAFTAR PUSTAKA (Bacaan)
Mu’adi
Sholih.2008.Penyelesaian sengketa hak atas tanah
Perkebunan melalui cara non litigasi.Semarang:Departemen Pendidikan
Nasional Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Prof.Harsono
Budi.1999.Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria.Jakara:Djambatan.
Tarunasena M.2009. Memahami Sejarah SMA Dan Ma
Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Sosial.Jakarta:Departemen pendidikan
Nasional.
Sumber website:
(Diunduh Pada
22 April 2012)
Chekp4yz’s
blog.28 Juli 2010/9:24 PM. Bab II Agraria. (Diunduh Pada
22 April 2012)
Pengantar Hukum Agraria Indonesia
Pengertian Agraria dan Hukum Agraria
Pnegertian agraria
menggunakan istilah dalam bahasa Yunani disebut sebagai ”Ager” artinya
Tanah/keladanan. Sedangkan dalam bahsa Latin, Agraria disebut sebagai
”Agrarius” dan diartikan sebagai perladangan, pertanian, sawah, dan seala
sesuatu yang berkaitan dengan tanah. Dan dalam bahasa Belanda, agraria
disebut dengan istilah ”Akker” yakni tanah atau perladangan. Juga dalam
bahasa Inggris yakni ”Land”.
Pengertian Agraria dalam Administrasu Pemerintahan
Istilah dalam
administrasipemerintahan disebut juga agraria baik tanah pertanian maupun non
pertanian.
Pengertian Agraria dalam UUPA
Pengertian agraria dalam UU
No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang lebih dikenal
dengan nama UUPA dan dipakai dan digunakan pengertiannya sangat luas.
Pembagian Agraria:
1. Pengertian agraria dalam
arti luas
- Bumi: Menurut UUPA bumi adalah permukaan dari tanah dan masuk dalam tubuh-tubuh bumi dan tanah yang ada dibawa air.
- Air: Sedangkan ari yakni perairan pedalaman yaitu danau, sungai, tanjung dll.
- Angkasa: Angkasa atau ruang angkasa yakni ruang yang ada diatas bumi dan air.
- Kekayaan alam: Yaitu segala macam batu-batuan, gas alam, tambang timah dsb.
2. Pengertian arti sempit
adalah tanah menurut UUPA.
Pengertian UUPA menurut UUD
1945
Dalam UUD 1945 dapat
dipahami yakni secara hakiki dalam UUD 1945 pada pasal 33 ayat 3 yang
menggariskan ”bumi, air, dan kekayaan alam yang ada didalamnya dikuasai oleh
negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Pengertian Konsepsi Hukum Agraria.
Kelompok-kelompok hukum
agraria:
- Hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam artian bumi.
- Hak air yaitu aturan hukum yang mengatur hak-hak atas air.
- Hukum pertambangan atau hukum yang mengatur atau hukum yang mengatur hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam air.
- Hukum perikan yaitu hukum yang mengatur hak atas kekuasaan alam dalam air.
- Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yaitu aturan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan usur-unsur dalam ruang angkasa.
- Hukum kehutanan adalah aturan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan.
Konsepsi Hukum Tanah
Nasional:
- Bersifat komunalistik dan religius
- Hak bangsa Indonesia adalah:
- hak milik yang mempunyai kedudukan paling tinggi ;
- hak bangsa yang meliputi seluruh tanah yang ada di Indonesia;
- hak bangsa yang bersifat abadi;
3. Hak menguasai
Dalam pasal 33 UUD 1945 dan
pasal 2 ayat 2 UUPA mengatakan bahwa:
- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan pengguna, persediaan dan pemeliharaan bumui, air dan ruang angkasa.
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, bumi, air dan ruang angkasa.
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Jadi, kesimpulan
dari hukum agraria adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai agraria (tanahan).
Sejarah Perkembangan Hukum AgrariaPolotik Hukum Agraria
(Pertanahan)
Politik agraria sebelum
kemerdekaan dalam undang-undang agraria hindia belanda (kolonial), pada
dasarnya tunduk juga pada hukum agraria barat yaitu hak egiandom, erpacht opstal
dan lain sebagainya yaitu hukum yang tunduk pada BW.
Hukum agraria adat:
- Jasan
- Ardardemi
- G. Sultan
Yang menjadi politik hukum
peertanahan adalah undang-undang agraria pada tahun 1870 yang tunduk pada BW
pasal 570. artinya, ada kebebasan untuk menikmati suatu benda atau tanah dalam
memanfaatkannya dan dasarnya adalah hukum agraria adat.(UUPA).
1. Zaman Kerajaan
Pada Zaman kerajaan dan
usahakan sebesar-besarnya untuk kerajaan. Tanah anage biasanya diberikan pada
oleh raja kepada hambanya yang berjasa terhadap kerajaan untuk mengelolanya dan
sebagian dari hasil pengelolaan tersebut diperuntukan buat raja atau dipotong
pajak istana.
2. Tanah Penjajahan
Pemanfaatan tanah penjajahan
hanya diperuntukkan semata-mata buat pemerintah Hindi Belanda (Agrariche wet 1866
& Agrariche bescuet/putusan pemerintah Hindi Belanda).
- Hak erfact adalah tanah yang dikuasai oleh penguasa penjajah.
- Hak milik/eigendom yaitu tergantung pada sifat mutlak kepada pemiliknya sepenuh untuk didaftarkan.
- Hak Obstal/hak guna bangunan yaitu bangunan bangunan yang ada pada suatu tanah, diberikan kepada pemerintah dari negara Eropa.
- Tanah partikiler adalah tanah yang dimiliki oleh eigendom yang memiliki sifat dan seni khas tersendiri.
Pada zaman pemerintahan
Belanda, adanya suatu badan lembaga perdagangan yang sisebut dengan VOC. VOC
inilah yang membentuk sebuah aturan dan melaksanakan pengawasan terhadap
pertanahan, yakni diamana orang pribumi asli harus mengeluarkan beberapa persen
pajak dari hasil pertaniannya untuk negara penjajah. Penggunaan atau
kepemilikan tanah ini lebih dikepentingkan pengusaha-pengusaha besar bangsa
Eropa. Peraturan yang dibuat oleh VOC itu dianggap sangat merugikan bangsa
Indonesia yakni Counting tentang pertanian yang diatur oleh pemerintah
Penjajahan Verplichten Leveratien, artinya Raja wajib memberkan hasil pertanian
yang telah ditetapkan oleh pemernintha penjajahan.
Pada tanggal 31 Desember
1779, organisasi VOC dibubarkan dan diambil alih oleh Batetse republik. Yaitu
dimulai pada tanggal 01 Januari 1800 bahwa tanah jajahan dijadikan bagian dari
wilaya negara Belanda yang disebut dengan Nederland Hindi (hindia Belanda).
Kebijakan itu diambil dan
dipimpin oleh B.W Denleds. Yakni mejual hasil pertanian pribumi pada
pengusaha-pengusaha besar dari berbagai negara termasuk belanda sendiri. Tanah
itu disebut sebagai T.Parthikuler. dan semua tanah-tanah itu semata-mata
ditujukan kepada bangsa penjajah.
Pemerintah itu, kemudian
digantikan dengan Janssen. Namun sepanjang itu juga, ditrapkan hal yang sama
yakni merampas hak-hak kekayaan masyaraakat pribumi.
Pada masa kekuasaan Ravles,
membentuk sebuah peraturan yang yang berbunyi, semua hak-hak pertanahan adalah
milik raja. Dengan menerapkan pajak tanah (domeen laudrent) dengan dasar
memberlakukan pertanahan memakai ketentuan tanah yang dikuasai atau diterapkan
oleh Ravles adalah milik raja. Dasar pertimbangannya adalah tanah-tanah dalam
suatu kerajaan dilakuakn sebuah penelitian oleh……
Dimasa itu, besarnya pajak
yang dibebankan oleh petani tidak berdasarkan pada luas lahan tetapi, pendapatannya
diberikan kewenangan oleh kepala desa yaitu seiapa yang lebih besar membayar
pajak, maka akan mendapat lahan yang besar pula. Begitu juga sebaliknya. Siapa
yang sedikit membayar pajak, maka lahan pertaniannya diperkecil atau sibiarkan
begitu saja. Berbeda dengan zaman sekarang dimana yang memiliki lahan pertanian
yang luas, maka ia wajib membayar pajak lebih. Sementara yang memiliki lahan
kecil, maka kecil atau murah juga pembayaran pajaknya.
Setelah kewenangan Ravles
berakhir, pada tahun 1816-1830 mulai dilakuakn suatu kebijakan pertanahan yang
ditujukan untuk memakmurkan rakyat yang pemimpinnya adalah Van de Bosch. Van de
bosch mengadakan aturannya yang kita ketahui sebagai tanam paksa. Semua jajahan
diwajibkan untuk menanam tanaman-tanaman tertentu yang dibutuhkan di pasar
internasional seperti Kopi, teh, panila dll. Dari pemerintah jajahan ini,
politik yang diterapkan sangat merugikan bangsa pribumi yakni dengan tujuannya
hanya untuk membangun negeri Belanda.
Pada tahun 1870 sebagai
titik balik sejarah politik kolonial belanda, maka diberlakukannya agraria stat
blad tahun 1870 No. 55 untuk memberikan kemungkinan atau jaminan modal yang
besar pada wirasuasta asing agar dapat berkembang di Indonesia dan melindungi
hak-hak rakyat atas tanah. Dalam pasal 51 yang terdiri dari dan berasal dari
pasal 63 ini yang mengatur mengenai kebijakan agraria pada masa itu.
Aturan pasal 51 dijelaskan
signifikan adalah:
1. Gubernur jendral tidak
boleh menjual tanah.
2. Dalam larangan ini adalah
tanah perluasan.
3. Gubernur jendral dapat
menyewakan tanah.
Adapun tanah-tanah yang
diberikan oleh orang-orang pribumi adalah dilakuakan sebagai tempat usaha
pengembalaan.
Menurut peraturan-peraturan
yang telah ditetapkan dengan ordenansi selama 75 tahun.
Gubernur jenderal menjaga
jangan sampai ada permberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat.
Deginsel Domein Verklaring
Pasal 1 : ”semua tanah-tanah
yang dikuasai oleh penduduk peribumi yang tidak dapat dibuktikan oleh
kepemilikannya adalah milik negara”.
Domain Verklaring adalah
tanah-tanah yang dikuasai oleh masyaratat pribumi dan tidak bisa
membuktikannya, maka tanah tersebut adalah milik pemerintah Hindi Belanda.
Tanah Jaman kemerdekaan
Pemanfaatan tanah digunakan
sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 1 UU No. 5 UUPA).
Contoh Soal:
- Kemukakan kebijakan politik pertanahan pada zaman kerajaan, hindi belanda dan zaman kemerdekaan.
- Apa yang dimaksud dengan Domain ferklaring dan bagimana akibatnya terhadap masyarakat pribumi.
- Kemukakan tujuan agrariche wet dan agrariche bescuet
- Apa yang dimaksud dengan hokum agrarian, agraria, sifat dualism dalam hukum agraria colonial.
- Politik pertanahan
- Tujuan UUPA, univikasi hokum.
- Pengajawantahan pancasila kedalam UUD.
- Konsepsi hokum tanah nasional.
Tugas:
- Peraturan mana yang dikalurka oleh VOC yang mengatur bidang agraria yang isinya sangat merugikan raja dan rakyat?
- Terangkan bagaimana teori Land Rante yang dikemukakan oleh Ravles yang diterapkan di Indonesia pada abad ke-19 ter
- Dalam bidang pertanahan apa yang dilakukan de…. dalam memperkaya kelompok penjajahan?
- Terangkan kebijakan pertanahan Vander Boch pada tahun 1830 yangk ita kenal sebagai tanam paksa.
- Jelaskan tujuan yang diatur dalam Agraria Sweat 1870 No.55 dan apa tujuan dikeluarkan agraria sweat 1870 No.118 Pasal 15.
Hak Ulayat
Pasal 1 ayat 1 UUPA ”seluruh
wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia”
Pada pasal 1 ayat 2 ”Seluruh
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan didalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (pasal ini
memiliki hubungan yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dan masyarakat
Indonesia).
Hak kewenangan Negara:
adalah hak yang mengatur atas tanah dari hak bangsa yang terbagi menjadi:
- Tanah Negara bebas yaitu tanah yang belum memiliki hak apa-apa diatasnya.
- Tanah Negara tidak bebas berarti sudah dibatasi dan sudah memiliki hak-hak didalamnya (Pasal 1 ayat (2) UUPA) dan pasal 1 seluruhnya kemudian dilanjutkan pada pasal 14 UUPA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar